Blog Series - Amygdala Dema #1


Cerita dari beragam jaman, saling jalin menjalin dalam tiap pilar, rangka, atau bahkan terperangkap dalam warna dinding yag makin memudar. Ia hidup dalam masa tanpa massa, bersanding dengan kemegahan waktu. Menjemput tiap jiwa yang luruh dalam elaborasi fakta. Jiwa yang terpaut dan luluh pada masa lalu, hidup ribuan tahun. Ia menjadi bagian dari bangunan berdinding lapuk, yang ditawarkan pemerintah menjadi destinasi dalam tur. Hati yang terpaut dalam kejayaan masa lalu, jadi bagian sejarang yang tak lekang dimakan waktu.

“Ngomong apa, sih?”

Langkah Rumi menuju masjid Kauman terhenti. Ia menoleh, memandang kearah gadis bertubuh mungil yang ikut menghentikan langkahnya. Rambut hitam sebahunya beterbangan tertiup angin sore hari.

What? I said nothing,” Ia membela diri.

Rumi memicingkan mata, meragukan kebenaran pengakuan si gadis. Ia mendekatkan tubuhnya pada  si gadis, lalu menyentuh lengannya, lambutnya, dan terakhir, hidungnya.

“Kamu ngapain?” gadis itu mulai risih. Ia mundur selangkah, membuat dress putih yang dikenakannya melambai-lambai.

“Elo beneran bukan hantu?”

Gadis itu menggeleng.

“Terus lo siapa?”

“Kan tadi pagi aku udah cerita,” jawabnya sambil berlalu menuju tempat wudhu wanita.

Darimana datangnya suara itu? Rumi yakin seklai Ia mendengar suara gadis asing yang tiba-tiba pagi tadi hadir di kamar homestay yang ditinggalinya. Dema, begitu Ia menyebutkan diri, menggumamkan sesuatu tentang bangunan dan sejarah.

Ugh! Lupakan. Barangkali Ia Dema cuma fantasi yang datang karena gue terlalu stress. Rumi berusaha menenangkan diri. Tapi sia-sia saja karena setelah Ia menunaikan sholat maghrib, sosok Dema nampak tak jauh darinya. Melambaikan tangan dengan memasang wajah ceria. Rumi memutar jalan, mencari jalan lain. bermaksud menghindari Dema, Ia melewati jalan disamping selasar maghrib, memelankan langkahnya agar Dema tidak mengikutinya.

“Are you trying to escape?”

Rumi terlonjak kaget. Tiba-tiba saja Dema sudah berada disampingnya dan berbisik. Melihat wajah Rumi yang memucat, Dema tertawa terbahak-bahak.

“Rumi, aku bukan hantu,” Dema kembali menjelaskan sambil berjinjit. Tangannya terangkat untuk membenahi kerah kemeja yang dikenakan Rumi. “kalau aku hantu, buat apa aku sholat?”

“Orang-orang nggak bisa lihat kamu,”

Dema mengerutkan alis. Lalu Ia memandang sekeliling dan menemukan soerang anak kecil bertubuh tambun yang berdiri tak jauh darinya. Dema menghampirinya, lalu menggelitiki pipi si bocah sambil tertawa kecil. Kemudian, sang Ibu menghapiri keduanya sambil mengobrol singakt dengan Dema.  Rumi tercengang. Ia kehabisan kata-kata.

“Elo siapa, sih?”

I should be your wife,” Dema tersenyum, lalu buru-buru menambahkan, “Should be someday.”

“What?”

Dema mengedikkan bahu. “Nggak tahu, deh. Tante Dina yang bicara kaya gitu,”

“Terus, lo mau apa?”

“Makan!” Dema menjawab dengan ceria. Lalu Ia menarik tangan Rumi kearah gerobak makanan yang berjajar di pelataran masjid.

*

Barangkali gue harus ke psikiater.

Rumi tercengang melihat Dema yang ‘lolos’ dari pandangan teman-teman di ruang tamu homestay. Tubuhnya yang mengenakan loose dress berwarna putih tampak ringan melewati teman-temannya yang sedang berkerumun, ada yang membaca buku, sedang yang lain menonton televisi. Dema menunduk, melirik buku tua yang ramai-ramai dibaca kawan Rumi. Ia kembali melangkah, lalu duduk sejenak disamping Gehitto, ikut menonton televisi. Lalu Dema berdiri dan berjalan masuk ke dalam kamar.

“Woi! Ngapain lo disitu?”

Teriakan Gehitto menyadarkan Rumi yang masih memandang kearah Dema. Ia gelagapan, masih terheran-heran dengan cara Dema kembali menjadi tak kasat mata.

“Tadi ada cewek duduk di sebelah lo. Badannya kecil, pakai dress warna putih. Rambutnya sebahu, pipinya merah,”

“Lo ngigau, ya?” sahut Aru keheranan. “ini kan homestay cowok. Mana ada cewek yang berani main kesini?”

Rumi makin keheranan. Ia melewati teman-temannya lalu masuk ke dalam kamar. Sedang berdiri di pinggir tempat tidur, Dema melipat celana jins yang pagi tadi Rumi biarkan tergeletak di lantai, bekas Ia gunakan kemarin malam. Belum habis rasa herannya, Dema sudah mengangsurkan handuk yang dilipat rapi. Diatasnya, terdapat sikat bersama pasta gigi, kaus dan celana untuk tidur, dan minyak kayu putih.

“Jangan langsung tidur, bersih-bersih dulu,”

Mengacuhkan alis Rumi yang mengerut keheranan, Dema kembali ke pigngir tempat tidur, melipat semua baju yang berserakan dimanapun. Rumi tinggal sekamar dengan Aru dan Gehitto. Tapi anehnya, Dema mampu memisahkan mana baju milik Rumi, Aru, dan Gehitto.

“Kamu ini kebiasaan, deh,” Dema nyeletuk. “Kalau berantakan gini, kamu sendiri lho yang susah,”

Tepat ketika Dema menutup pintu lemari, Aru dan Gehitto masuk ke dalam kamar. Mata Rumi masih lekat pada Dema yang duduk di pinggir tempat tidur, memandanginya.

“Lo sehat?” Aru menepuk pipi Rumi. “Kok lo pucat gini, sih?”

Gehitto ikut memandang kearah pandang Rumi. Mencari sesuatu yang membuat sahabatnya berdiri mematung dan pucat. Yang ditemuinya hanya kamar yang bersih dan cukup wangi. Ia mengernyit. Wangi vanilla khas cewek.

“Lo abis tidur sama cewek, ya?”

Dema  membelalakkan mata dan melompat kaget, membuat Rumi langsung tersadar.

“Apaan, sih?” Rumi membela diri.

“Kok gue ngerasa ada wangi cewek disini?” Gehitto keheranan.

“Itu aku, Rumi,” ujar Dema sambil tertawa kecil.

“Tuh, kan! Lo denger nggak dia ngomong apa?”

Aru dan Gehitto memandang satu sama lain. Keheranan.

“Ini, ada cewek diantara kita. Lagi duduk di kasur gue. Dia yang beresin kamar kita,” Rumi bersikeras, lalu menyentuh bahu Dema. “Lo ngomong sesuatu, dong!”

“Nggak bisa, Rumi. Aku lagi nggak pengen dilihat orang,” Dema melepaskan cengkeraman tangan Rumi.

“Kenapa?”

“Emangnya kamu mau digosipin bawa cewek masuk ke dalam kamar?” Dema tersenyum kecil, lalu berbalik dan menghempaskan tubuhnya keatas kasur. “Gehitto sama Aru tidur di ranjang atas kan? Aku mau tidur disini, ya? kamu disini aja,” ujarnya sambil menepuk sisi yang masih kosong disampingnya.

“Rumi, lo ngomong sama siapa?” Gehitto bertanya, lagi-lagi mengikuti arah pandang Rumi.
Rumi kehabisan kata-kata. Ia mengambil handuk dan peralatan mandi yang disiapkan Dema, lalu masuk ke dalam kamar mandi.

*

“Gue mulai nggak waras,”

Homestay yang disewa kelompok kerja Rumi memang pas sekali untuk mereka. Memiliki lima kamar, rumah bergaya lama itu cukup diisi seluruh anggota kelompok. Sebagai ketua dan konseptor, ketiganya memilih kamar di lantai teratas. Tentu saja untuk mendapatkan privilege berupa balkon yang sedang mereka tempati sekarang. Dema sudah tertidur pulas di ranjang bagian bawah. Tadi, Rumi sempat menutupi tubuh Dema dengan selimut karena tubuhnya terasa sangat dingin. Sambil menikmati kopi hitam, ketiganya duduk di pinggir balkon, menatap langit Jogja yang sedang rekah dengan banyaknya bintang.

“Si cewek itu?”

“Namanya Dema,” sahutnya.

“Kok lo bisa ketemu dia?” Gehitto bertanya.

*

Jam berapa ini?

Ugh! Ini hari Minggu. Day to sleep. Setelah berhari-hari penuh gue menggadaikan kehidupan gue demi social project dan ditemani bergelas-gelas kopi, rasanya gue pantas mendapatkan tidur yang layak. Barangkali sejam, dua jam tambahan sampai sore. Lalu gue mandi, makan dan, hmph! Ngapain lagi? it’s a free day! Kenapa gue harus bangun karena telepon bangsat ini? Siapa yang ganggu, sih? Masih juga jam 10 pagi. Oh, Fariz. Wait, ngapain si brengsek nelpon gue?

“Lo tau nggak, gue mau tidur,” gue menahbiskan kata tersebut sebagia pengganti halo sejak sebulan lalu Ia terus meracau karena kehilangan calon istrinya.

“Gue cuma mau bilang kalau gue lagi di Surabaya. Mau makan enak, nggak?”

“Untungnya gue lagi di Surabaya, dan gue nggak perlu ketemu lo,” gue menyahut.

“Hah? Lo lagi dimana?”

“Jogja,”

“Ngapain? Liburan?”

“Bukan urusan lo,”

“Rumi, nggak boleh bilang gitu!”

Wait! Shit! Kenapa gue denger suara cewek?

“Suara siapa, tuh?” Fariz bertanya dengan nada penasaran.

“Bukan siapa-siapa,”

Terdengar teriakan girang di seberang sana yang bisa langsung gue simpulkan kalau itu adalah teriakannya.

Finally! Adek gue ngerti juga gimana caranya bersenang-senang!” Ujarnya penuh semangat. “So how’s night? Lo nggak lupa pakai kondom, kan?”

“Brengsek!” gue menyumpah serapah. “Nanti gue telpon lagi,”

“Have fun, lil bro!”

Darimana asalnya suara itu? Gue menyibakkan selimut dan memandang sekeliling. Sedetik kemudian menyadari gue ada di ranjang atas, tempat Gehitto tidur. Pagi-pagi sekali, mereka berdua dan anggota lain pergi ke Mangunan untuk melepas penat. Jelas saja kamar kami sepi. Lalu darimana suara itu?
Tunggu, lagipula sejak kapan Ibu pengurus membiarkan cewek masuk kemari? Berarti, suara tadi Cuma ada di kepalaku. Tapi, dariamana Fariz bisa tahu? Masa ada hubungan persaudaraan kasat mata, ya? Ah, bullshit! Gue mau tidur lagi.

“Sudah siang, Rumi. Ayo bangun,”

Gue terlonjak kaget. Suara itu nyata! Datangnya dari arah balkon.

“Hari ini ada tur sejarah yang pengen kamu datangi. Yakin mau tidur lagi?”

Berusaha menyingkirkan rasa takut, gue mengintip dari atas ranjang, mencari asal suara yang benar datang dari balkon. Berasal dari seorang gadis bertubuh mungil yang bersandar di pagar balkon. Ia mengenakan dress berwarna putih, selaras dengan warna kulitnya. Rambutnya panjang sebahu. Pipinya merona merah, apalagi ketika Ia tersenyum padaku.

“Selamat pagi,” Ia menyapa. “Bangun, yuk. Aku sudah siapkan baju, tas dan sarapanmu,”

Gue pasti Cuma mimpi. Mengacuhkan kehadirannya, gue kembali menarik selimut dan kembali terlelap. Entah berapa lama kemudian, gue kembali terjaga dengan dia yang duduk bersila disamping gue. Membaca buku, sambil menikmati teh hijau beraroma madu. Sementara tangan kanannya memegang buku, tangan kirinya mengusap-usap kepalaku.

“Kapan terakhir keramas? Berminyak banget, deh,”

Spontan gue melompat bangun, mengucek mata dan memandang kearahnya. Iseng, gue melirik kearah jam dinding, sekedar mengecek apa jarum jam masih menunjuk ke angka 10 dan gue Cuma bermimpi. Ternyata, sekarang sudah jam 12 siang. Voila! Gue nggak sedang bermimpi. Dan gadis ini? Gue menyentuh lengannya untuk memastikan apa dia tembus pandang atau enggak.

“Rumi,” ujarnya lembut ketika gue menyentuh lengannya. “Gue bukan setan, hantu, roh, atau apapun itu yang ada di kepalamu,”

“Lalu lo siapa?”

“Dema,”

“Just Dema?”

Ia mengangguk, tanpa sedikitpun mengangkat wajahnya dari buku yang sedang dibacanya.

“Lalu Dema, apa yang bikin lo datang kemari?”

“Tante Dina,”

Gue memandangnya tak percaya.

“Mama?”

Ia mengangguk.

“Tapi, Mama udah pergi tahun lalu,” mau nggak mau, gue mengembalikan ingatan kelam setahun lalu. “kecelakaan, mobil, darah, meninggal,”

Melihat perubahan nada suara gue, Ia menutup bukunya dan menyentuh tangan gue lalu mengusapnya.

That’s why I’m here,” Ia berujar. “Tante Dina minta tolong aku buat mengembalikan Amygdala di kepalamu,”

“Darimana kamu kenal Mama?”

“Aku lagi ada di persimpangan. Antara menunggu urusan dunia yang belum selesai, dan tuntutan untuk segera melanjutkan perjalanan. Dan Tante Dina ada disana bersamaku. Tante Dina selalu cerita kalau kamulah satu-satunya alasan kenapa beliau nggak segera melanjutkan perjalanan. Tante Dina tahu amygdala yang kamu punya nggak lagi berfungsi setelah Ia pergi,”

“Amygdala?”

Ia menghela napas panjang. Sedkit kesal karena kau tidak tahu dengna istilah yang dibicarakannya.

“Bagian terkecil dari otak yang mengatur emosi dan perasaan. Secara nggak langsung, amygdala punyamu nggak berfungsi karena kamu merasa sedih luar biasa,”

“Jadi, kamu udah meninggal? Seperti Mama?”

“Nope. Belum,” Ia mengedikkan bahu. “bahkan aku nggak tahu sebenarnya aku ini apa,”

Gue kembali menyentuh lengannya, memastikan dia bukan hantu.

“But, yang aku tahu adalah aku harus mengembalikan amygdala di kepalamu karena aku punya amygdala yang super duper kuat,”

Gue mencibir.

“Mahluk nggak jelas,”

*

“And then, this girl ruining my whole day!” Rumi melanjutkan cerita sambil sesekali melirik kearah Dema yang terlelap. “Karena gue merasa nggak enak sekamar sama cewek, akhirnya gue keluar...”

“Finally! Ada juga orang yang bisa bikin elo keluar dari kamar di hari Minggu,” Aru menjentikkan jari dengan senang. “tapi sayangnya orang itu malah mahluk halus,”

“Lalu lo kemana?” Gehitto tetap fokus.


“Ke antah berantah,” sahut Rumi dengan kesal

Komentar